Dinas PP-PA Kota Bima adakan Kegiatan Sosialisasi Inovasi Gerakan cepat pencegahan perkawinan usia anak (GERCEP UMA RUKA)Tingkat Kota Bima

       Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Bima melaksanakan

Kegiatan Sosialisasi Inovasi Gerakan Cepat Pencegahan Perkawinan Usia Anak (Gercep

Uma Ruka), kegiatan ini dilaksanakan di Aula SKB Kota Bima dan dibuka langsung oleh Kadis

DPP-PA Kota Bima (Syahruddin, SH, MM) dan dihadiri juga oleh Sekretaris DPP-PA Kota  Bima

(Drs. Muhlis) dan Kabid. PP-PKA (Muhammad, SE). adapun tujuan dari pelaksanaan kegiatan ini

adalah sesuai dengan amanat undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 7 Ayat 2
tentang Perkawinan, adalah permohonan yang diajukan oleh orang tua calon pengantin
kepada Badilag disebabkan masih anak-anak, atau disebut juga sebagai perkawinan
anak. Produk hukum tersebut kemudian diamandemen menjadi UU nomor 16 tahun
2019 termasuk merevisi syarat usia minimal calon pengantin.
Jika semula pada UU 1/1974, batas minimal usia perempuan melaksanakan
perkawinan adalah 16 tahun, maka tidak demikian halnya pada peraturan perundangan
baru. Disebutkan bahwa saat ini syarat usia minimal baik bagi perempuan ataupun laki-
laki untuk dapat melaksanakan perkawinan adalah 19 tahun.
Amandemen UU 1/1974 tersebut merupakan sikap pemerintah untuk mencegah
makin meningkatnya tren perkawinan anak. Tindakan itu diikuti pula dengan

diterbitkannya Peraturan MA nomor 5 tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili
Permohonan Dispensasi Kawin.
Oleh karena itu, perkawinan anak telah menjadi isu mendesak untuk
diselesaikan. Pencegahan perkawinan anak adalah satu-satunya program percepatan
yang tidak boleh ditunda lagi. Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan
selalu menekankan upaya untuk menekan tingginya angka perkawinan anak. Bahkan
dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024,
Presiden menyebutkan, perkawinan anak harus ditekan sampai angka 8,74 persen
pada 2024.
Di satu sisi, anak merupakan generasi muda yang memiliki peran penting dalam
menjaga dan meneruskan cita-cita bangsa. Sebab itu, upaya perlindungan dan
pemenuhan hak bagi setiap anak merupakan kewajiban bagi negara.

Perkawinan anak berdampak masif di antaranya meningkatnya risiko putus
sekolah, pendapatan rendah, kesehatan fisik akibat anak perempuan belum siap hamil
dan melahirkan. Selain itu terdapat ketidaksiapan mental dalam membangun rumah
tangga sehingga akan memicu tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pola
asuh tidak benar, hingga berujung pada perceraian.
Itu sebabnya perkawinan anak merupakan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia (HAM). “Praktik perkawinan anak akan berdampak buruk terhadap tumbuh
kembang dan kehidupannya di masa yang akan datang. Sehingga perkawinan anak
juga merupakan pelanggaran HAM karena hak anak adalah bagian dari HAM,
Penyebab perkawinan anak ada beberapa faktor diantaranya:
1. Faktor Ekonomi dan Kemiskinan,

Nilai budaya (anak perempuan sebagai asset keluarga),
3. Regulasi (kebijakan-kebijakan yang masih belum berpihak pada anak
perempuan),
4. Globalisasi (perilaku remaja yang terpengaruh budaya negative),
5. Ketidaksetaraan gender (kurangnya partisipasi, akses dan pengambilan
keputusan bagi anak perempuan).
Ada beberapa dampak serius hasi perkawinan anak terutama bagi perempuan,
diantaranya adalah :
1. Kesehatan.
a. Reproduksi. Perkawinan anak dapat mengganggu kesehatan reproduksi
termasuk dapat menyebabkan munculnya kanker mulut rahim atau serviks.
Ini akibat melakukan hubungan seksual di perkawinan usia anak karena
dalam ilmu kesehatan reproduksi, indung telur belum matang untuk
bereproduksi.
b. Stunting. pada perkawinan usia dini sangat berpotensi melahirkan anak yang
mengalami kekerdilan (stunting). dampak jangka panjang kesehatan bayi
yang dilahirkan dalam kondisi stunting dari perkawinan anak dapat
menyebabkan pencapaian akademis rendah serta berisiko mengalami KDRT
dan penelantaran
c. Kesehatan Tulang, perempuan hamil sebelum 19 tahun atau dalam usia
pertumbuhan, maka fungsi tulang akan terhenti tumbuhnya. Kecenderungan
mengalami osteoporosis atau keropos tulang pun dapat terjadi. Ini akibat
perempuan yang menikah di usia anak kehilangan kesempatan melewati titik
4
puncak massa tulang (peak bone mass) saat berusia 32 tahun. Begitu juga
saat memasuki usia menopause atau berhenti menstruasi sekitar usia 50
tahun, maka terancam mengalami tubuh bungkuk dan rentan mengalami
fraktur atau tulang patah.
d. Psikologis. Perkawinan anak bukan saja berdampak negatif pada kesehatan
fisik ibu berusia remaja. Tetapi juga kesehatan mental seperti baby blues,
depresi, ansietas, sulit menyatu (bonding) dengan bayinya. Bahkan juga
berpikir untuk bunuh diri atau menyakiti bayinya.
e. Kematian. Komplikasi kehamilan dan melahirkan adalah penyebab kematian
terbesar kedua untuk anak perempuan usia 15 – 19 tahun dan bayi yang
dilahirkan dari ibu yang berusia di bawah 21 tahun berpeluang meninggal 1,5
kali lebih besar dari ibu yang berusia di 21 – 30 tahun.
2. Pendidikan. Dampak perkawinan anak Pada masalah pendidikan, sebanyak 44%
anak perempuan yang menikah kurang dari 18 tahun hanya tamat jenjang
pendidikan SMP/sederajat.
3. Ekonomi. Pada masalah ekonomi, meningkatnya pekerja usia anak akan
berpotensi memunculkan kemiskinan antargenerasi.
4. Sosial. Pada masalah lainnya, mengalami KDRT, meningkatnya resiko
perceraian, dan menderita depresi.